Sabtu, 12 Maret 2016

Diam!

Aku diam. Biar saja aku yang disakiti. Aku diam tanpa menuntut apapun. Biar saja aku yang dihakimi. Aku diam saja dan menerima semua kesalahan. Aku memilih diam. Biar saja itu menjadi cerita antara kita. Aku terus saja diam meskipun cerita itu mulai melebar. Aku akan diam dan pergi jika aku tidak kuat dengan semua yang kamu lakukan kepadaku.

Aku tetap saja diam. Aku menerima semuanya termasuk kebohonganmu. Aku tidak akan melakukan apapun untuk membuatmu berkata jujur kepadaku. Karena jika kamu benar mencintaiku, kamu tidak akan setega itu melakukan semuanya kepadaku.

Jumat, 11 Maret 2016

First Love

Sebuah undangan coklat muda dengan motif kertas tua tergeletak di teras rumahku. Entah siapa yang mengirimkannya, tapi sepertinya ini bukan undangan pernikahan yg biasanya aku dapat. Ku buka sedikit penutup kertas itu. Di sana tertulis sebuah tulisan, Undangan Reuni SMA. Ah, aku lupa, bagaimana suasananya sewaktu SMA dulu. Makhlum, aku disibukkan dengan berbagai pekerjaan. Oleh karena itu, Aku pun tidak ingat tentang memori sewaktu SMA. Tapi ada satu yang tidak pernah bisa ku lupa. Cinta pertama.

Tiba-tiba saja mataku berair dan dadaku sesak. Itulah yang ku rasakan tatkala mengingat kejadian itu. Kejadian 10 tahun yang menorehkan trauma bagiku untuk menjalin hubungan dengan pria lain. Dan terjadilah, setelah lulus, aku memutuskan kuliah di luar negeri, kuliah khusus anak perempuan. Setidaknya setahun setelah kepergianku, luka itu perlahan lahan mulai menutup. Pikiranku tidak melulu tentang dia. Begitu pula setelah bekerja. Aku pun memutuskan bekerja dibagian Public Relation dimana aku selalu menghadapi klien-klien yang setiap hari berbeda-beda. Perjalanan yang kubuat dan tuntutan menyelesaikan masalah klien membuatku benar-benar telah melupakan itu semua.

Aku tidak tahu harus bagaimana dengan undangan itu. Ku putuskan untuk benar2 menutup lembaran hitam di masa lalu. Jadi, aku membuang undangan tersebut.

"Alea," seseorang dengan nada lembut memanggil namaku dari belakang.

Sontak aku menoleh ke arah suara itu. Seorang gadis yang sangat ku kenal dulu tersenyum ke arahku. Dia terlihat agak tua dariku. Tapi tetap saja, aku tidak merasa pangling melihatnya. Kemudian dia berjalan agak cepat ke arahku dan langsung memelukku.

"Sita," gumamku lirih tanpa daya. Aku membiarkan dia mendekapku erat. Dan aku juga membiarkan dia menangis.

"Aku tak tahu harus mengatakan apa tapi aku benar-benar minta maaf atas kejadian 10 tahun yg lalu. Aku tahu, aku tidak- Aku- Aku,"
"Sudahlah Sita. Yang berlalu biarlah berlalu, aku sudah melupakan itu semua," balasku datar. Ada kegetiran dari kalimatku. Dia sahabatku sejak lama bahkan kami sudah layaknya saudara kandung, apakah aku harus membencinya hanya gara-gara cinta?

Sita masih terisak. Dia meraba wajahku. "Aku merindukanmu. Aku mencarimu tapi aku tidak menemukan apapun termasuk kabarmu. Aku takut kehilanganmu, Alea. Jika waktu itu kamu memintaku untuk meninggalkannya, maka aku akan meninggalkannya untukmu."

"Aku sibuk. Sudahlah! Aku sudah melupakannya dan sekarang kamu juga harus melupakannya," ucapku berusaha tegar setegar mungkin.

Sita masih terisak. Dia kembali memelukku. Dan aku membiarkannya melakukan itu. Tubuhku kaku. Aku tidak merespon pelukannya. Aku tidak tahu harus bertindak apa.

"Sudahkah kamu membaca undangan itu?" tanyanya tiba-tiba.

"Reuni SMA. Sepertinya aku tidak bisa datang. Aku ada pekerjaan," jawabku berbohong.

Raut kekecewaan jelas tergambar dari wajah Sita. Sikapnya masih sama ketika aku menolak pergi bersamanya. Dulu, dia merajuk dan terus merajuk sampai aku menerima ajakannya.

"Kamu berbohong. Aku bisa melihat dari matamu,"

Aku tertawa kecil. Tawa palsu yang ku buat agar dia percaya dan berhenti memaksaku. "Aku jelas tidak berbohong. Ada klien yg harus ku temui di akhir pekan."

"Klien? Ataukah pacar?" selidiknya.

"Aku tidak punya pacar," aku mengkoreksi ucapannya.
"Kamu belum bisa melupakannya kan? Jika belum, setidaknya kamu akan datang ke acara itu. Jika belum, aku akan meninggalkannya untukmu," ucap Sita yang benar-benar membuatku harus memilih. Aku kenal Sita dan aku kenal bagaimana dia menepati ucapannya.

"Baiklah, aku akan mampir ke acara itu," kataku putus asa. Perkataanku itu langsung disambut dengan pelukan oleh Sita. Lalu dia pamit dengan gembira seakan baru menemukan barangnya yang selama ini hilang.

Dasar Sita. Dia selalu saja bersikap kekanak-kanakan padahal umur dia sudah tidak lagi muda. Tidak pernah berubah.

* * * *

Akhirnya, tibalah saat dimana acara itu diselenggarakan. Aku menepati janjiku pada Sita. Aku datang ke sana sendiri tanpa pasangan karena aku benar-benar belum memiliki pasangan. Di sepanjang jalan, aku sudah merasa gundah. Aku tidak tahu harus melakukan apa setiba di sana.

Mobilku memasuki halaman depan SMA. SMA-ku masih sama seperti dulu. Hanya saja ada sedikit renovasi di depan dan penggantian cat dinding agar tidak terkesan sebagai sekolah tua. Aku memarkirkan mobilku dibagian belakang agar aku mudah untuk mengambilnya. Sebelumnya memang aku berniat tidak akan menghabiskan waktuku di sana. Kemudian aku masuk ke dalam. Langkahku cepat menuju Aula.

Aula tempat acara itu diselenggarakan telah ramai banyak orang. Suara anak kecil memenuhi seisi ruangan. Bahkan satu orang yang membawa lebih dari satu anak pun banyak. Begitu pula dengan suami. Aku rasa hanya aku yang berangkat sendiri tanpa anak dan suami.

Selama beberapa menit aku mematung di sana. Mengamati berbagai pemandangan yang sangat aneh. Mereka tertawa, gembira, dan merasa bahagia. Padahal di sini aku hampir menangis mengamati kebahagiaan mereka.
"Alea," suara yang sama memanggilku. Aku menoleh. Dia pun tak kalah bahagianya dengan mereka. Dalam pelukannya tertidur seorang anak. Dan di belakangnya seorang laki2 yang ku cintai dulu menunggu dengan sabar. Dia menggendong seorang anak juga, namun anak itu lebih besar.

Aku tersenyum getir. Entah mengapa aku masih menatap lekat ke arah pria itu. Pria itu juga menatapku. Tapi tidak lama, dia mengalihkan pandangan seakan takut dengan sorot mataku.

"Ayo membaur," ucap Sita sembari menarik tanganku ke arah kerumunan. Dan pria itu mengikuti langkahnya. Dia tidak lagi berada di belakangnya melainkan di sampingnya.

Betapa bahagianya Sita, dia langsung menjadi satu dengan mereka. Sementara aku kembali sendiri menahan air mata. Dia meninggalkanku bersama dengan pria yang sekarang sangat ku benci.

"Alea, aku, aku minta maaf atas kejadian yang lalu," ucapnya tiba-tiba.

Aku hanya terdiam seolah tidak mendengarnya.

Berada di dekatnya membuatku tersiksa. Akhirnya aku sedikit melangkah agak jauh dari pria itu. Aku berusaha ikut membaur dengan yang lain untuk menghindarinya. Tapi ketika aku mulai melangkah, tangannya menarik tanganku sehingga aku terhuyung hampir jatuh. Kemudian dia membawaku jauh dari kerumunan.

Sekarang aku sendiri bersama dia. Dia melepaskan tanganku. Ku seka air mataku yang tidak dapat lagi ku bendung.

"Alea, aku benar2 khilaf melakukannya. Aku minta maaf atas kejadian itu. Jawab aku Alea," katanya seraya memohon kepadaku.
"Biarkan itu terjadi, Yudhis. Aku sekarang sudah bahagia dengan hidupku. Jangan lah kau ungkit-ungkit lagi kejadian itu. Biar aku saja yang merasakan itu semua," balasku sembari terisak.

"Alea, aku dan Sita tersiksa karena perbuatan kami. Hidup kami tidak tenang. Kami selalu terbayang-bayang olehmu."

"Aku tidak lagi mempermasalahkan itu. Aku sakit memang, dan aku membawa rasa itu. Sekarang jangan kamu ungkit lagi! Aku sudah melupakan itu semua, aku sudah memaafkan kalian. Apa lagi yg akan kalian minta dariku??" teriakku dalam tangis. Aku melihat Yudhis juga menangis. Namun wajahnya tertunduk.  Kemudian dia mengangkat wajahnya untuk memandangku. Pandangannya teduh dan membuat suasana hatiku luluh lantak.

"Kamu masih secantik dulu, Lea," ucapnya. Tangannya terulur hendak menyentuh wajahku tapi buru-buru ku tepis tangan itu. Aku tidak mau dia melakukan lebih dari itu. Aku benar2 memutuskan untuk pergi meninggalkannya. Namun lagi2 dia menarik lenganku hingga membuatku terhuyung jatuh. Aku terjatuh tepat dalam pelukannya. Tentu saja aku sadar lantas aku meronta. Semakin kuat aku meronta semakin kuat pula dia memelukku. Sampai akhirnya pelukan itu tiba2 mengendor. Aku langsung menampar pipi kirinya, namun tidak ada reaksi apapun dari pria itu. Begitu juga ketika aku pergi, dia tidak lagi menarik tanganku. Aku telah berlalu darinya. Ternyata tidak jauh dari tempat kami, telah berdiri Sita yang tampak shock. Kejadian yg baru ku alami membuatku acuh dengan mereka berdua. Ku biarkan Sita dengan kedua anaknya. Dan aku langsung memacu mobilku pergi dari area itu. Bahkan aku berencana kembali ke luar negeri demi melupakan kejadian hari ini.

* * * * * *

Tiga tahun berlalu sejak kejadian hari itu. Kabar terakhir yang aku dengar, setahun setelah kejadian itu, mereka bercerai. Sita mengurus sendiri ketiga anaknya dan Yudhis pergi entah kemana. Aku tidak begitu memikirkan mereka.

Dan hari ini, aku memberanikan diri pulang ke tanah air. Tidak ada lagi perasaan sedih karena terkhianati. Entahlah, setelah menyendiri aku merasa bahwa menyendiri adalah pilihan yang terbaik. Aku tidak harus memberikan cinta kepada orang lain. Aku juga tidak perlu merasa sakit karena dicintai. Aku pun tidak menginginkan ketulusan dan kasih sayang. Yang aku inginkan adalah bagaimana caranya agar aku bisa menuntaskan semua mimpiku. Mimpi, itulah prioritas utama dalam hidupku saat ini. Biarlah orang mengatakanku sebagai perawan tua toh dia tidak merasakan apa yang pernah aku rasakan.

* * * * *

Kamis, 10 Maret 2016

Secercah Cahaya dari dalam Rumah Bordir

Tuhan, aku tidak tahu bagaimana caraku membalas semua nikmatMu. Sungguh ini adalah yang teramat bahagia dari kesedihan yang selama ini aku rasakan. Engkau anugerahkan gelar bagi kesempurnaan setiap wanita. Ibu. Tiada gelar yang paling membanggakan kecuali gelar menjadi ibu.

Dalam hitungan bulan, dia yang tengah meringkuk dalam perutku akan datang mengisi kekosongan. Dia yang akan menjadikan hari-hariku penuh suka cita. Aku menanti hari itu, hari dimana aku mempertaruhkan segalanya untuk memperlihatkan kepadanya akan dunia.

Janjiku, Tuhan. Aku akan mengajarkan betapa indahnya karunia-Mu. Aku akan menuntunnya ke jalan-Mu. Aku akan mengenalkannya tentang mana yang baik dan mana yang buruk.

Meskipun ibu adalah wanita penuh dosa, namun ibu selalu berdoa semoga Tuhan membantu kita dekat dengan-Nya. Semoga Tuhan menuntun kita. 

Nak, tiada cinta yang tulus selain cinta Ibu. Ibu berjanji kepadamu, Ibu akan mencintaimu.. Ibu mencintaimu tanpa bisa berhenti dan diberhentikan.. Cukup hanya Tuhan, Ibu, dan Anakku..

Selasa, 08 Maret 2016

Dandelion

Ketika bayangan mulai mengabur, dan keburukanmu terlihat semakin jelas di mataku, aku sadar bahwa aku tidak pantas lagi berada lama di sisimu. Aku memutuskan untuk pergi dengan pertimbangan yang ku rasa tidaklah adil untukku sendiri. Aku ingin membuatmu bahagia setelah sekian lama membuatmu tersiksa dan terluka. Begitu lama aku berfikir seharusnya aku sadar bahwa perilaku yang kamu tunjukkan kepadaku mengatakan bahwa kamu sudah jenuh dengan hubungan kita. Akhirnya keputusan untuk pergi menjadi akhir hubungan ini dan menjadi awal kebahagiaanmu, kurasa.

Sayang, hidup ini laksana bunga dandelion, yang selalu berkelana mencari takdirnya. Dia tidak suka hinggap terlalu lama melainkan selalu pergi mengikuti hembusan angin. Dan aku rasa kamu adalah bunga dandelion itu. Kamu bisa mencari bunga lain untuk kamu kembangkan kembali.

Aku bukanlah bunga itu, sayang. Aku bukanlah bunga yang hendak kamu kembangkan. Meskipun kamu telah memetikku, namun aku telah layu dan rusak oleh waktu.  Aku rela dibuang asal kamu bahagia. Aku ikhlas jika harus sendiri seumur hidup. Aku melakukan semuanya tanpa paksaan dan aku tidak ingin kamu melakukannya dengan paksaan.

Tapi satu hal yang perlu kamu tahu, cintaku tidak akan pernah hilang untukmu. Semoga kamu bahagia, sayang. Semoga kamu bahagia meskipun bukan aku yang membahagiakanmu. . . 

Little Cupcake

Yang aku tahu dia seperti cupcake kecil yang berwarna warni dengan taburan gula putih di atasnya. Aku memanggilnya my little cupcake. Ketika dia mendengarnya, sudah pasti itu aku, dia berlari menyongsongku seakan aku adalah sumber kebahagiaannya.

Bahagia? Apakah rasanya seperti melihat cupcake-ku tersenyum? Dia bisa mengubah cemberut menjadi senyum. Dia seakan obat bagi lara dan gundah gulana. Dia yang Tuhan kirimkan sebagai poros kehidupan. She, my little cupcake, is the only reason why I've lived.

Dia pengganti yang pergi. Dia malaikat penutup luka seiring kepergiaannya. Dia laksana es yang mendinginkan lebam lebam masa lalu. My little cupcake, kehidupanmu adalah bahan bakar yang aku butuhkan.

Tuhan, sekarang aku melihat keadilanmu melaluinya. Aku ikhlas jika masa laluku begitu menyakitkan, kemudian engkau kirimkan malaikatmu seperti my little cupcake.

Tiada rencana yang lebih indah dibanding rencanamu. Tiada pula nikmat lainnya yang teramat besar dibanding nikmat dariMu.